Penulis : Ramly Djakaria
Banggai _ Tak terasa sekitar 7 bulan mendatang masyarakat Banggai akan kembali menentukan para pemimpin dan para perwakilan melalui Pemilihan Umum.
Masyarakat akan kembali dilibatkan secara langsung atau tidak langsung, dalam sejumlah peristiwa bernuansa politik. Tak terkecuali, intrik kotor dengan gunakan politik identitas meski dampaknya dapat memecah belah persatuan di tengah masyarakat.
Pembahasan mengenai politik identitas memang masih menjadi isu baru di Indonesia. Walaupun pada dasarnya aspek-aspek tersebut telah ada sejak lama, efek yang ditinggalkan baru dirasakan belum lama ini.
Apalagi ketika bentuk politik identitas digunakan sebagai ajang mencari massa oleh para pemangku kepentingan. Dalam hal ini, para elite politik menggunakan kesamaan suku, agama, ras dan etnik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Di Kabupaten Banggai, contoh penggunaan politik identitas dapat dilihat dari pemilihan Bupati dan Wakil Bupati beberapa waktu lalu.
Dimana saat itu dapat kita pahami bahwa imbas dari adanya politik identitas ini begitu hebat. Pengkotakan golongan masyarakat terjadi, bahkan nyaris timbulkan kekacauan.
Dalam peristiwa tersebut, begitu banyak isu bernuansa politik identitas yang beredar di masyarakat, terutama melalui sosial media. Dimana hal itu tentu saja berbahaya karena berpotensi menggiring opini masyarakat.
Menghadapi Pemilu pada 2024 mendatang, salah satunya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI, permainan politik identitas dengan berlatar agama, nampak kembali mencuat. Masyarakat di daerah, termasuk di wilayah Kabupaten Banggai, tak luput dari skema intrik politik ini.
Mengutip tulisan Mur Setiyani, seorang Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Unsoed Purwokerto, dikatakan adanya fenomena politik identitas dengan populisme agama akan menjadi ranjau bagi demokrasi negara ketika digunakan oleh pemimpin yang tidak cakap.
Politik identitas akan menggiring opini publik bahwa orang yang tidak beridentitas sama dengan mereka tidak pantas untuk menjadi pemimpin.
Ini tentu saja menyebabkan kaum minoritas akan kehilangan hak yang sama dalam pemerintahan negara, khususnya dalam ranah pemilu maupun pemilihan. Serta dikhawatirkan secara lambat laun akan mencederai demokrasi.
Belajar dari pengalaman Pilpres 2019 lalu, tidak menutup kemungkinan bahwa isu-isu itu akan kembali muncul dalam pemilu tahun 2024 mendatang.
Peristiwa yang lalu memiliki kesempatan besar untuk terus digaungkan oleh kelompok radikal demi keuntungan pribadi.
Begitu pula oleh golongan-golongan yang memang pada dasarnya menginginkan perpecahan antara kaum mayoritas dan kaum minoritas di Indonesia.
Menghilangkan praktek politik identitas akan menjadi salah satu PR penting bagi Indonesia menjelang pemilu 2024 mendatang.
Hal ini menjadi penting, terlebih karena berhubungan erat dengan kesetaraan hak, persatuan dan kesatuan masyarakat, serta prinsip-prinsip demokrasi. Apalagi, masalah SARA merupakan hal yang lumayan sensitif untuk dijadikan alat kampanye.
Sebagai negara yang multikultural serta demokratis, sudah sepantasnya semua masyarakat memiliki kesetaraan hak dalam pemilu. Tidak hanya orang Jawa yang bisa menjadi pemimpin negara, orang luar Jawa juga bisa.
Tidak hanya orang islam saja yang bisa menjadi pemimpin negara, orang non-islam juga bisa. Dalam artian bahwa hak seseorang untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat tidak didasarkan pada suku, agama, ras, atau etnik semata.
Tapi lebih kepada kemampuan orang-orang itu untuk memimpin dan mengayomi masyarakat. Sehingganya, masyarakat Kabupaten Banggai yang kental dengan persatuan dan kekeluargaan selama ini, diharapkan bisa lebih bijak menghadapi Pemilu ke depan.
Dengan bersama-sama menolak politik identitas, demi wujudkan pemilu yang damai, bermartabat, dan berkeadilan bagi seluruh kalangan masyarakat.